Iwan Fals dan Franky Sahilatua
Ada banyak legenda hidup di blantika musik tanah air. Mereka bukan saja sudah berhasil menciptakan banyak lagu-lagu dan banyak album, tetapi karya mereka bukanlah sebuah karya biasa. Karya mereka bukanlah jenis lagu musiman yang ngetop untuk kemudian hilang. Tema yang mereka angkat pun bukan tema “kacangan” macam tema cinta dan perselingkuhan yang sering kita dengar di televisi saat ini. Orang tentu akan dengan mudah mengingat dahsyatnya lagi Bento dan Bongkar milik Iwan Fals. Ya, Iwan Fals adalah salah satu tonggak musik tanah air yang secara konsisten mampu dan mau menyuarakan suara hati rakyat banyak akan ketidak adilah yang ada di sekitar kita.
Sama dahsyatnya dengan Iwan Fals, sosok Franky Hubert Sahilatua atau yang lebih dikenal dengan Franky Sahilatua juga memiliki kontribusi dahsyat buat dunia musik tanah air. Kiprah Franky sebagai musisi boleh jadi tidak terukur dalam jumlah platinum yang diraih, sebuah level penghargaan untuk tingkat penjualan yang dijadikan tolok ukur keberhasilan musisi tanah air saat ini. Franky Sahilatua konsisten dengan musik balada dengan muatan-muatan “berat” mengenai alam dan kehidupan, seperti tertuang dalam lagu Perjalanan dan Bis Kota, dua dari banyak karya fenomenal Franky. Seolah tak cukup berkarya sendiri, dua fenomena musik tanah air ini pernah berkolaborasi dalam sebuah album.
Iwan dan Franky pernah bekerja sama dalam sebuah album yang diberi tajuk “Terminal”. Album ini dirilis pada tahun 1993. Keduanya bernyanyi dalam lagu Terminal dengan dukungan musisi legendaris lainnya, Ian Antono. Sepertinya, musik Indonesia merindukan sosok-sosok berintegritas semacam mereka lagi yang benar-benar mencurahkan segala daya dan upaya, pikiran dan tenaga untuk menghasilkan karya yang tak hanya bagus tetapu juga memiliki misi yang jelas. Musik Indonesia seperti telah kehilangan rohnya ketika angin kapitalisme memporak-porandalan idealisme para produser. Produser musik Indonesia lebih memilih mencari band-band baru yang sangat ingin “ngetop” dengan modal tampang keren walau musikalitas ala kadarnya. Hal ini tentu karena permintaan pasar. Entah kapan akan muncul idola baru seperti Iwan dan Franky.
Profil Iwan Fals
Profil Iwan Fals sangatlah menarik untuk dibaca. Hal ini dikarenakan Iwan Fals merupakan salah satu legenda hidup Indonesia yang melakukan kecaman kepada pemerintah melalui lagu. Melalui lagu-lagunya Iwan Fals menggambarkan suasana sosial masyarakat Indonesia dari tahun 1970-an hingga sekarang. Banyak sekali lagu yang telah dinyanyikannya dari yang lagu yang diciptakan orang lain hingga lagu yang diciptakannya sendiri.
Lagu-lagu Iwan Fals sangatlah merakyat sehingga banyak masyarakat yang sangat senang mendeengarkannya. Iwan Fals yang bernama lengkap Virgiawan Listanto dilahirkan oleh seorang ibu yang bernama Lies di Jakarta pada tanggal 3 September 1961. Sejak kecil Iwan Fals telah suka dengan musik bahkan sejak Iwan masih kecil Iwan telah bisa bermain gitar. Iwan dulunya pernah menjadi seorang pengamen untuk menambah pengalamannya dalam bermusik dan menciptakan lagu. Tak heran lagu-lagunya banyak yang mencerminkan penderitaan rakyat kecil.
Iwan merupakan salah seorang penyanyi dan pencipta lagu yang dapat mengapresiasikan apa yang dilihatnya menjadi sebuah lagu yang bagus. Hal ini terbukti dengan banyaknya lagu-lagu Iwan yang menceritakan tentang kesusahan yang dialami masyarakat karena kebijakan pemerintah yang salah. Sehingga tak hayal Iwan sering berurusah dengan aparat penegak hukum karena dirasa Iwan membuat lagu yang menjelek-jelekkan pemerintahan.
Lagu Iwan Fals yang sangatlah banyak namun yang paling fenomenal yaitu Bento dan Bongkar. Kedua lagu Iwan Fals ini sangatlah disukai masyarakat pada zamannya karena lirik lagu lagu ini merupakan lirik Iwan Fals yang sesungguhnya. Lirik Iwan Fals merupakan lirik yang dibuat Iwan Fals yang didapat berdasarkan fakta yang sedang terjadi dalam masyarakat. Lirik-lirik seperti ini sangat susah dibuat apalagi lirik ini merupakan sindiran keras kepada pemerintah dan pejabat pemerintahan.
Lagu Iwan Fals merupakan lagu-lagu yang sangat bagus dan mampu menyedot perhatian dari berbagai kalangan. Lagunya kebanyakan bercerita tentang rakyat dan pemerintahan yang berjalan di Indonesia. Lagu-lagunya disukai banyak orang karena mengandung makna yang dalam bila diresapi dan mau dipahami. Meskipun dia selalu memberi sindiran-sindiran tegas kepada pemerintah namun pemerintah hanya menutup telinga mereka dan tetap saja tidak ada keinginan untuk mendengarkan aspirasi dari rakyatnya.
Kisah Galang Rambu Anarki
KETIKA Galang lahir pada 1 Januari 1982 si bapak, yang
perasaannya campur-aduk karena pertama kali merasakan diri jadi
ayah—merasa harus bertanggung jawab, merasa mencintai, heran, bahagia,
bangga punya keturunan dan sebagainya—menciptakan lagu berjudul Galang
Rambu Anarki. Lagunya cukup terkenal dan masuk album Opini (1982).
Galang tumbuh jadi anak cerdas. Endi Aras sering main tembak-tembakan dengan Galang. Muhamad Ma’mun punya karakter rekaan yang sering diceritakannya pada Galang. Namanya “Gringgrong”—seorang jagoan “kayak Tarzan” yang bisa mengalahkan harimau, naik kuda, dan mengalahkan musuh. Tiap kali Ma’mun datang menginap, cerita Gringgong ditagih Galang. Di Condet hanya ada dua kamar, “Kalau saya nginep, Galang tidur sama bapaknya,” kata Ma’mun.
Ketika beranjak remaja, Ma’mun melihat Galang badannya bagus, berbentuk. Galang bukan tipe anak hura-hura. Kalau minta uang paling buat bayar taksi pergi ke sekolah. “Untuk beli-beli dia nggak punya uang,” kata Iwan. Galang juga besar tekadnya. Suatu saat Galang, yang belum bisa menyetir mobil dan tak punya surat izin mengemudi, ingin bisa mengendarai mobil. Solusinya? Galang mengendarai mobil sekaligus dari Jakarta ke Pulau Bali!
Tapi kekerasan Galang suatu hari membuat Iwan angkat tangan. Dia datang ke Ma’mun, “Mas gimana nih, Galang nggak mau sekolah lagi?”
“Terus maunya apa?”
“Embuh, main musik atau buka bengkel.”
Galang memutuskan keluar dari SMP Pembangunan Jaya di Bintaro, yang terletak dekat rumah dan termasuk salah satu sekolah mahal di Jakarta. Iwan sering pindah rumah dan waktu itu tinggal di Bintaro. Hingga Leuwinanggung ia sudah pindah rumah 12 kali. Usia Galang 14 tahun dan sedang memproduksi rekamannya yang pertama bersama kelompok Bunga. Iwan tak bisa berbuat banyak dan membiarkan Galang putus sekolah.
Galang pernah juga kabur meninggalkan rumah. Dalam pelarian, menurut Iwan, Galang melihat poster dan foto papanya di mana-mana. “Dia merasa diawasi,” kata Iwan. Galang merasa tak bisa lari dan kembali ke rumah.
Suatu saat Iwan curiga. Iwan bertanya, “Lang, lu pakai ya?”
“Mau apa tahu Pa?” kata Galang, ditirukan Iwan.
Iwan menganggap dirinya sudah insyaf. Kok Galang yang memakai? Iwan merasa Galang meniru papanya. Mula-mula rokok lalu obat. Endi Aras mengatakan Iwan agak teledor kalau menyimpan ganja atau merokok.
Galang menerangkan dia hanya mencoba. Rasanya pusing serta teler. “Ya udah, kalau sudah tahu ya udah,” kata Iwan.
Kebetulan Galang punya pacar, seorang cewek gaul bernama Inne Febrianti, yang juga keberatan Galang memakai obat-obatan. Inne mendorong Galang tak memakai obat-obatan.
“Dia bukan pemakai. Dia sangat cinta pada keluarganya. Kontrol diri sangat kuat,” kata Iwan.
Kamis malam 24 April 1997 sekitar pukul 11:00 malam Galang pulang ke rumah, setelah latihan main band. Dia makan lalu pamit pada papanya mau tidur. Mamanya lagi tak enak badan. Iwan masih mendengar Galang telepon-teleponan.
Subuh sekitar 4:30 Kelly Bayu Saputra, sepupu Galang yang tinggal di sana, mau mengambil sisir di kamar Galang. Kelly memanggil Galang tapi tak bangun. Kelly mendekati Galang dan menggoyang-goyangkan badannya. Lemas. Kelly kaget. Dia mengetuk kamar Yos. Yos bangun dan menemukan Galang badannya dingin. “Saya turun ke bawah, panggil Iwan,” kata Yos.
Keluarga heboh. Iwan terpukul sekali. Pagi itu saudara-saudaranya datang. Mereka menghubungi semua kerabat dan teman. Leo Listianto, adik Iwan, menelepon Ma’mun di Karawaci. “Saya masih tidur, antara percaya, tidak percaya,” kata Ma’mun.
Sepuluh menit kemudian, Ma’mun ditelepon Dyah Retno Wulan, adiknya Leo, biasa dipanggil Lala, juga memberitahu Galang meninggal. “Saya bengong,” kata Ma’mun. Dia segera menuju Bintaro.
Fidiana menerima telepon dari Ari Ayunir. Fidiana membangunkan Iwang Noorsaid, suaminya, “Wang, ini ada berita duka … Galang meninggal.” Mereka agak tak percaya karena beberapa hari sebelumnya pasangan ini bertamu ke Bintaro dan melihat Galang mondar-mandir. Mereka mencoba telepon ke Bintaro tapi nada sibuk. Mereka menelepon Herri Buchaeri, Endi Aras, dan beberapa rekan lain sebelum naik mobil ke Bintaro.
Endi Aras mengatakan, “Pagi-pagi aku dapat kabar. Iwang Noorsaid yang telepon.” Endi sampai di Bintaro sekitar pukul 5:30. “Aku ikut memandikan (jasad Galang),” kata Endi.
Ketika Iwan memandikan jasad anaknya, dia berujar berkali-kali, “Galang, kamu sudah selesai, Papa yang belum … Lang, kamu sudah selesai, Papa yang belum ..…” Kalimat itu diucapkan Iwan berkali-kali.
Ma’mun dirangkul Iwan. “Jagain Mas, jagain anak-anak Mas,” kata Iwan, seakan-akan hendak mengatakan ia sendiri kurang menjaga anaknya dengan baik.
“Yos histeris, menangis ketika saya peluk. ‘Aduh, anak saya sudah meninggal mendahului saya,’” kata Fidiana. Iwan tak banyak bicara, menunduk, menangis, dan hanya bilang “terima kasih” kepada tamu-tamu. “Kepada kita dia nggak ngomong sama sekali,” kata Fidiana.
Galang dimakamkan di mana? Ada usul pemakaman Tanah Kusir dekat Bintaro. Iwan emosional, ingin memakamkan Galang di rumahnya. Bagaimana aturannya? Iwan pun memutuskan menelepon kyai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dari Nahdlatul Ulama. Saat itu Gus Dur belum jadi presiden Indonesia. Iwan menganggap Gus Dur “guru mengaji” yang terbuka, tempat orang bertanya. Gus Dur mengerti hukum Islam maupun hukum pemerintahan.
Gus Dur dalam telepon menjelaskan dalam aturan Islam diperbolehkan memakamkan jenazah di rumah. Pemakaman bergantung wasiat almarhum atau keinginan keluarga. Tapi di Jakarta tak bisa memakamkan orang di rumah sendiri karena keterbatasan lahan. “Di Jakarta nggak boleh … kalau Bogor boleh.”
Kata “Bogor” itu mengingatkan Iwan pada Leuwinanggung. Keluarga pun memutuskan Galang dimakamkan di Leuwinanggung.
Menurut Harun Zakaria, seorang tetangga Iwan di Leuwinanggung, yang juga menjaga kebun Iwan, dia dihubungi Lies Suudiyah, ibunda Iwan. “Bu Lies datang ke sini. Dia bilang, ‘Cucunda meninggal. Tolong di sini kuburannya,” kata Harun.
Jenazah disemayamkan dulu di masjid Bintaro. Sekitar 2.000 jamaah salat Jumat di masjid itu ikut menyembahyangkan Galang. Banyak seniman, tetangga, kenalan Iwan, dan Yos datang menyampaikan duka. Setiawan Djody, W.S. Rendra, Ayu Ayunir, Jalu, Totok Tewel, Jockie Suryoprayogo, juga tampak di sana. Spekulasi wartawan maupun pengunjung memunculkan gosip bahwa dada Galang kelihatan biru. Galang digosipkan overdosis. Ini merambat ke mana-mana karena tubuh Galang kurus ceking.
Orang sebenarnya tak tahu persis penyebab kematian Galang karena tak ada otopsi terhadap jenazahnya. Kawan-kawan Iwan memilih diam. Mereka merasa tak nyaman mengecek spekulasi overdosis kepada orangtua yang berduka. Kresnowati pernah diberitahu Yos bahwa penyebab kematian Galang penyakit asma. Fidiana mengatakan beberapa hari sebelum kematian, Yos mengatakan Galang lagi sakit-sakitan. Iwan mengatakan pada saya, fisik Galang “agak lemah” dan “Galang lemah di pencernaan.”
Namun Iwan dan Ma’mun menyangkal spekulasi overdosis. Galang memang mencoba obat-obatan tapi tak serius. Iwan mengatakan dua bulan sebelum meninggal, Galang “sudah bersih.” Iwan percaya anaknya punya kontrol diri.
Menurut teman-temannya, Yos menilai petualangan Galang merupakan protes terhadap Iwan. Galang butuh perhatian papanya tapi Iwan terlalu sibuk. Yos di mata mereka lebih tabah menghadapi kematian Galang. Iwan lebih terpukul dan menyesal. “Setelah Galang meninggal, dia sudah nggak nggelek-nggelek. Salatnya sudah rajin,” kata Endi Aras.
September lalu di keheningan Leuwinanggung, saya tanyakan pada Iwan bagaimana perasaannya sekarang, lima tahun setelah kematian Galang.
Dia menggeser posisi duduknya dan mengatakan, “Sampai sekarang masih ngimpi, terutama zaman manis-manisnya ketika Galang masih kecil.”
Iwan mengatakan kalau bercermin pada masa-masa ketika Galang masih ada, dia melihat kekurangan-kekurangannya sebagai suami maupun ayah. “(Kematian Galang) membuat saya menghargai fungsi bapak, fungsi suami. Kalau saya dulu bisa lebih bersahabat, jadi gurunya, jadi lawannya, mungkin akan lain ceritanya.”
“Tapi ini semua nggak bisa dibalik.”
Diambil hikmahnya, Iwan bercerita bahwa kematian Galang jadi “api” buat dirinya dalam bermusik.
“Dia pilih musik, bahkan dia keluar sekolah. Dia mau menikah waktu itu. Dia percaya musik bisa menghidupi istrinya. Masakan saya nggak berani … rasanya di sini senep (sesak) … hoooaah … dari sini senep … apalagi kalau kenangan-kenangan itu datang,” kata Iwan. Dia tiba-tiba berteriak, “Hoooooooaaaaah ….”
Saya mengalihkan pandangan mata saya dari mata Iwan. Dia menelungkupkan kedua tangannya di dada. Kami diam sejenak. Saya minta maaf karena mengingatkannya pada kematian Galang. Iwan bilang tak apa-apa. “Kadang-kadang kalau lagi sedih … senep. Tapi kalau lagi senang ya lupa
Galang tumbuh jadi anak cerdas. Endi Aras sering main tembak-tembakan dengan Galang. Muhamad Ma’mun punya karakter rekaan yang sering diceritakannya pada Galang. Namanya “Gringgrong”—seorang jagoan “kayak Tarzan” yang bisa mengalahkan harimau, naik kuda, dan mengalahkan musuh. Tiap kali Ma’mun datang menginap, cerita Gringgong ditagih Galang. Di Condet hanya ada dua kamar, “Kalau saya nginep, Galang tidur sama bapaknya,” kata Ma’mun.
Ketika beranjak remaja, Ma’mun melihat Galang badannya bagus, berbentuk. Galang bukan tipe anak hura-hura. Kalau minta uang paling buat bayar taksi pergi ke sekolah. “Untuk beli-beli dia nggak punya uang,” kata Iwan. Galang juga besar tekadnya. Suatu saat Galang, yang belum bisa menyetir mobil dan tak punya surat izin mengemudi, ingin bisa mengendarai mobil. Solusinya? Galang mengendarai mobil sekaligus dari Jakarta ke Pulau Bali!
Tapi kekerasan Galang suatu hari membuat Iwan angkat tangan. Dia datang ke Ma’mun, “Mas gimana nih, Galang nggak mau sekolah lagi?”
“Terus maunya apa?”
“Embuh, main musik atau buka bengkel.”
Galang memutuskan keluar dari SMP Pembangunan Jaya di Bintaro, yang terletak dekat rumah dan termasuk salah satu sekolah mahal di Jakarta. Iwan sering pindah rumah dan waktu itu tinggal di Bintaro. Hingga Leuwinanggung ia sudah pindah rumah 12 kali. Usia Galang 14 tahun dan sedang memproduksi rekamannya yang pertama bersama kelompok Bunga. Iwan tak bisa berbuat banyak dan membiarkan Galang putus sekolah.
Galang pernah juga kabur meninggalkan rumah. Dalam pelarian, menurut Iwan, Galang melihat poster dan foto papanya di mana-mana. “Dia merasa diawasi,” kata Iwan. Galang merasa tak bisa lari dan kembali ke rumah.
Suatu saat Iwan curiga. Iwan bertanya, “Lang, lu pakai ya?”
“Mau apa tahu Pa?” kata Galang, ditirukan Iwan.
Iwan menganggap dirinya sudah insyaf. Kok Galang yang memakai? Iwan merasa Galang meniru papanya. Mula-mula rokok lalu obat. Endi Aras mengatakan Iwan agak teledor kalau menyimpan ganja atau merokok.
Galang menerangkan dia hanya mencoba. Rasanya pusing serta teler. “Ya udah, kalau sudah tahu ya udah,” kata Iwan.
Kebetulan Galang punya pacar, seorang cewek gaul bernama Inne Febrianti, yang juga keberatan Galang memakai obat-obatan. Inne mendorong Galang tak memakai obat-obatan.
“Dia bukan pemakai. Dia sangat cinta pada keluarganya. Kontrol diri sangat kuat,” kata Iwan.
Kamis malam 24 April 1997 sekitar pukul 11:00 malam Galang pulang ke rumah, setelah latihan main band. Dia makan lalu pamit pada papanya mau tidur. Mamanya lagi tak enak badan. Iwan masih mendengar Galang telepon-teleponan.
Subuh sekitar 4:30 Kelly Bayu Saputra, sepupu Galang yang tinggal di sana, mau mengambil sisir di kamar Galang. Kelly memanggil Galang tapi tak bangun. Kelly mendekati Galang dan menggoyang-goyangkan badannya. Lemas. Kelly kaget. Dia mengetuk kamar Yos. Yos bangun dan menemukan Galang badannya dingin. “Saya turun ke bawah, panggil Iwan,” kata Yos.
Keluarga heboh. Iwan terpukul sekali. Pagi itu saudara-saudaranya datang. Mereka menghubungi semua kerabat dan teman. Leo Listianto, adik Iwan, menelepon Ma’mun di Karawaci. “Saya masih tidur, antara percaya, tidak percaya,” kata Ma’mun.
Sepuluh menit kemudian, Ma’mun ditelepon Dyah Retno Wulan, adiknya Leo, biasa dipanggil Lala, juga memberitahu Galang meninggal. “Saya bengong,” kata Ma’mun. Dia segera menuju Bintaro.
Fidiana menerima telepon dari Ari Ayunir. Fidiana membangunkan Iwang Noorsaid, suaminya, “Wang, ini ada berita duka … Galang meninggal.” Mereka agak tak percaya karena beberapa hari sebelumnya pasangan ini bertamu ke Bintaro dan melihat Galang mondar-mandir. Mereka mencoba telepon ke Bintaro tapi nada sibuk. Mereka menelepon Herri Buchaeri, Endi Aras, dan beberapa rekan lain sebelum naik mobil ke Bintaro.
Endi Aras mengatakan, “Pagi-pagi aku dapat kabar. Iwang Noorsaid yang telepon.” Endi sampai di Bintaro sekitar pukul 5:30. “Aku ikut memandikan (jasad Galang),” kata Endi.
Ketika Iwan memandikan jasad anaknya, dia berujar berkali-kali, “Galang, kamu sudah selesai, Papa yang belum … Lang, kamu sudah selesai, Papa yang belum ..…” Kalimat itu diucapkan Iwan berkali-kali.
Ma’mun dirangkul Iwan. “Jagain Mas, jagain anak-anak Mas,” kata Iwan, seakan-akan hendak mengatakan ia sendiri kurang menjaga anaknya dengan baik.
“Yos histeris, menangis ketika saya peluk. ‘Aduh, anak saya sudah meninggal mendahului saya,’” kata Fidiana. Iwan tak banyak bicara, menunduk, menangis, dan hanya bilang “terima kasih” kepada tamu-tamu. “Kepada kita dia nggak ngomong sama sekali,” kata Fidiana.
Galang dimakamkan di mana? Ada usul pemakaman Tanah Kusir dekat Bintaro. Iwan emosional, ingin memakamkan Galang di rumahnya. Bagaimana aturannya? Iwan pun memutuskan menelepon kyai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dari Nahdlatul Ulama. Saat itu Gus Dur belum jadi presiden Indonesia. Iwan menganggap Gus Dur “guru mengaji” yang terbuka, tempat orang bertanya. Gus Dur mengerti hukum Islam maupun hukum pemerintahan.
Gus Dur dalam telepon menjelaskan dalam aturan Islam diperbolehkan memakamkan jenazah di rumah. Pemakaman bergantung wasiat almarhum atau keinginan keluarga. Tapi di Jakarta tak bisa memakamkan orang di rumah sendiri karena keterbatasan lahan. “Di Jakarta nggak boleh … kalau Bogor boleh.”
Kata “Bogor” itu mengingatkan Iwan pada Leuwinanggung. Keluarga pun memutuskan Galang dimakamkan di Leuwinanggung.
Menurut Harun Zakaria, seorang tetangga Iwan di Leuwinanggung, yang juga menjaga kebun Iwan, dia dihubungi Lies Suudiyah, ibunda Iwan. “Bu Lies datang ke sini. Dia bilang, ‘Cucunda meninggal. Tolong di sini kuburannya,” kata Harun.
Jenazah disemayamkan dulu di masjid Bintaro. Sekitar 2.000 jamaah salat Jumat di masjid itu ikut menyembahyangkan Galang. Banyak seniman, tetangga, kenalan Iwan, dan Yos datang menyampaikan duka. Setiawan Djody, W.S. Rendra, Ayu Ayunir, Jalu, Totok Tewel, Jockie Suryoprayogo, juga tampak di sana. Spekulasi wartawan maupun pengunjung memunculkan gosip bahwa dada Galang kelihatan biru. Galang digosipkan overdosis. Ini merambat ke mana-mana karena tubuh Galang kurus ceking.
Orang sebenarnya tak tahu persis penyebab kematian Galang karena tak ada otopsi terhadap jenazahnya. Kawan-kawan Iwan memilih diam. Mereka merasa tak nyaman mengecek spekulasi overdosis kepada orangtua yang berduka. Kresnowati pernah diberitahu Yos bahwa penyebab kematian Galang penyakit asma. Fidiana mengatakan beberapa hari sebelum kematian, Yos mengatakan Galang lagi sakit-sakitan. Iwan mengatakan pada saya, fisik Galang “agak lemah” dan “Galang lemah di pencernaan.”
Namun Iwan dan Ma’mun menyangkal spekulasi overdosis. Galang memang mencoba obat-obatan tapi tak serius. Iwan mengatakan dua bulan sebelum meninggal, Galang “sudah bersih.” Iwan percaya anaknya punya kontrol diri.
Menurut teman-temannya, Yos menilai petualangan Galang merupakan protes terhadap Iwan. Galang butuh perhatian papanya tapi Iwan terlalu sibuk. Yos di mata mereka lebih tabah menghadapi kematian Galang. Iwan lebih terpukul dan menyesal. “Setelah Galang meninggal, dia sudah nggak nggelek-nggelek. Salatnya sudah rajin,” kata Endi Aras.
September lalu di keheningan Leuwinanggung, saya tanyakan pada Iwan bagaimana perasaannya sekarang, lima tahun setelah kematian Galang.
Dia menggeser posisi duduknya dan mengatakan, “Sampai sekarang masih ngimpi, terutama zaman manis-manisnya ketika Galang masih kecil.”
Iwan mengatakan kalau bercermin pada masa-masa ketika Galang masih ada, dia melihat kekurangan-kekurangannya sebagai suami maupun ayah. “(Kematian Galang) membuat saya menghargai fungsi bapak, fungsi suami. Kalau saya dulu bisa lebih bersahabat, jadi gurunya, jadi lawannya, mungkin akan lain ceritanya.”
“Tapi ini semua nggak bisa dibalik.”
Diambil hikmahnya, Iwan bercerita bahwa kematian Galang jadi “api” buat dirinya dalam bermusik.
“Dia pilih musik, bahkan dia keluar sekolah. Dia mau menikah waktu itu. Dia percaya musik bisa menghidupi istrinya. Masakan saya nggak berani … rasanya di sini senep (sesak) … hoooaah … dari sini senep … apalagi kalau kenangan-kenangan itu datang,” kata Iwan. Dia tiba-tiba berteriak, “Hoooooooaaaaah ….”
Saya mengalihkan pandangan mata saya dari mata Iwan. Dia menelungkupkan kedua tangannya di dada. Kami diam sejenak. Saya minta maaf karena mengingatkannya pada kematian Galang. Iwan bilang tak apa-apa. “Kadang-kadang kalau lagi sedih … senep. Tapi kalau lagi senang ya lupa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar